Cari Blog Ini

Sabtu, 26 Februari 2011

Pendidikan Kesehatan

1. Definisi Pendidikan Kesehatan

Pendidikan kesehatan merupakan komponen esensial dalam asuhan keperawatan dan diarahkan pada kegiatan meningkatkan, mempertahankan dan memulihkan status kesehatan ; mencegah penyakit dan membantu individu mengatasi efek sisa penyakit.
(Brunner & Suddarth. 2001 ; 47)
Pendidikan kesehatan adalah suatu penerapan konsep pendidikan dalam bidang kesehatan. Dilihat dari segi pendidikan, pendidikan kesehatan adalah suatu pedagogik praktis atau praktek pendidikan. Oleh sebab itu, konsep pendidikan kesehatan adalah konsep pendidikan yang diaplikasikan pada bidang kesehatan. Konsep dasar pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti di dalam pendidikan itu terjadi proses pertumbuhan, perkembangan atau perubahan kearah yang lebih dewasa, lebih baik dan lebih matang pada diri individu, kelompok atau masyarakat.
(Notoatmojo, Soekidjo, 2007 : 108)
Pendidikan kesehatan adalah proses perubahan perilaku yang dinamis, dimana perubahan tersebut bukan sekedar proses transfer materi / teori dari seseorang ke orang lain dan bukan pula seperangkat prosedur, akan tetapi perubahan tersebut terjadi adanya kesadaran diri dalam diri individu, kelompok atau masyarakat sendiri. (Mubarak, Wahit Iqbal, dkk. 2007 : 8)
Pendidikan kesehatan adalah upaya menerjemahkan apa yang telah diketahui tentang kesehatan ke dalam prilaku yang diinginkan dari perorangan atau pun masyarakat melalui proses pendidikan. (Grout dalam Machfoedz & Suryan, 2008 : 6)
Pendidikan kesehatan adalah profesi mendidik masyarakat tentang kesehatan. Wilayah dalam profesi ini meliputi kesehatan lingkungan, kesehatan fisik, kesehatan social, kesehatan emosional, kesehatan intelektual dan kesehatan rohani. (http://wikipedia.org/wiki/health.education)
Jadi pendidikan kesehatan adalah suatu proses belajar dan perubahan prilaku untuk meningkatkan pengetahuan individu atau masyarakat akan kesehatannya.

2. Tujuan Pendidikan Kesehatan

Tujuan pendidikan kesehatan yaitu :
a. Agar masyarakat memiliki tanggung jawab yang lebih besar pada kesehatannya keselamatan lingkungan dan masyarakatnya.
b. Agar orang melakukan langkah-langkah dalam mencegah terjadinya penyakit menjadi lebih parah, dan mencegah keadaan ketergantungan melalui rehabilitasi cacat yang disebabkan oleh penyakit.
c. Agar orang memiliki pengertian yang lebih baik tentang eksistensi dan perubahan-perubahan system dan cara memanfaatkannya dengan efisien dan efektif.
d. Agar orang mempelajari apa yang dapat ia lakukan sendiri dan bagaimana caranya, tanpa selalu meminta pertolongan kepada system pelayanan kesehatan yang formal.
(Wong dalam Mubarak, Wahit Iqbal dkk. 2007 : 9)

3. Ruang Lingkup Pendidikan Kesehatan

Dari dimensi sasarannya, pendidikan kesehatan dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :
a. Penkes individual dengan sasaran individu.
b. Penkes kelompok dengan sasaran kelompok.
c. Penkes masyarakat dengan sasaran masyarakat luas.
Dari dimensi pelaksanaannya, pendidikan kesehatan dapat berlangsung dibeberapa tempat :
a. Penkes sekolah, dilakukan disekolah dengan sasaran murid.
b. Penkes dirumah sakit, dilakukan dirumah sakit atau di puskesmas dengan sasaran pasien maupun keluarga pasien.
c. Penkes di tempat-tempat kerja dengan sasaran buruh / karyawan yang bersangkutan.
Dari dimensi tingkat pelayanan kesehatan, pendidikan kesehatan dapat dilakukan berdasarkan lima pencegahan, yaitu :
a. Promosi kesehatan (Health Promotion)
Contohnya : Memberikan pendidikan kesehatan tentang penigkatan gizi, kebiasaan hidup, perbaikan sanitasi lingkungan, dll.
b. Perlindungan Kesehatan (Specifik Protection)
Contohnya : Program imunisasi
c. Diagnosis Dini dan Pengobatan Segera (Early diagnosis & Prampt Treatment)
Karena rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan dan penyakit, maka sulit mendeteksi penyakit-penyakit yang terjadi dalam masyarakat. Dalam hal ini pendidikan kesehatan sangat diperlukan agar masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak.
d. Pembatasan Cacat (Disability Limitation)
Karena miskinnya pengetahuan masyarakat tentang kesehatan dan penyakit, kebanyakan mereka tidak melakukan pemeriksaan dan pengobatan sehingga dapat mengakibatkan orang yang bersangkutan menjadi cacat / ketidakmampuan.
e. Rehabilitasi (Rehabilitation)
Setelah sembuh dari penyakit tertentu, kadang-kadang orang menjadi cacat. Untuk memulihkan kecacatan tersebut diperlukan latihan tertentu. Karena kurangnya pengetahuan, mereka segan bahkan tidak melukan latihan tersebut. Pada tahap ini, pendidikan kesehatan sangat diperlukan.
(Notoatmojo, Soekidjo. 2007 : 10)

4. Prinsip-Prinsip Pendidikan Kesehatan

Prinsip-prinsip pendidikan kesehatan adalah :
a. Belajar mengajar berfokus pada klien, pendidikan klien adalah hubungan klien yang berfokus pada kebutuhan klien yang spesifik.
b. Belajar mengajar bersifat menyeluruh (holistic), dalam memberikan pendidikan kesehatan harus dipertimbangkan klien secara kesehatan, tidak hanya berfokus pada muatan spesifik saja.
c. Belajar mengajar negosiasi, pentingnya kesehatan dank klien bersama-sama menetukan apa yang telah diketahui dan apa yang penting untuk diketahui.
d. Belajar mengajar yang interaktif adalah suatu proses yang dinamis dan interaktif yang melibatkan partisipasi dari petugas kesehatan dank lien.
e. Pertimbangan umum dalam pendidikan kesehatan untuk menumbuh kembangkan seluruh kemampuan dan prilaku manusia melalui pengajaran sehingga perlu dipertimbangkan umur klien dengan proses belajar mengajar.
(Mubarak, Wahit Iqbal. 2007 : 24)

5. Proses Pendidikan Kesehatan

Prinsip pokok pendidikan kesehatan adalah proses belajar. Di dalam kegiatan belajar terdapat tiga permasalahan pokok yaitu :
a. Permasalahan Masukan (Input)
Dalam hal ini adalah subjek belajar (siswa) atau individu, kelompok, keluarga dan masyarakat.
b. Proses
Terjadi melalui proses belajar mengajar akan berjalan dengan baik apabila ditunjang :
 Materi kurikulum yang tepat.
 Sumber daya (dana dan fasilitas pendukung lain baik perangkat lunak / perangkat keras).
 Lingkungan belajar yang kondusif.
 SDM (Dosen / guru yang ahli dalam bidangnya).
 Subjek belajar berperan aktif dan baik.


c. Persoalan keluar (Output)
Adanya perilaku baru dalam bentuk kemampuan sebagai hasil perubahan perilaku yang sehat dari sasaran didik.
(Notoadmojo, Soekidjo. 2007 : 209)

6. Tahap-Tahap Pendidikan Kesehatan

a. Tahap Sensitisasi
Tahap ini dilakukan guna memberikan informasi dan kesadaran pada masyarakat terhadap adanya hal-hal penting berkaitan dengan kesehatan. Bentuk kegiatan adalah siaran radio berupa radio, spot, poster, selebaran atau lainnya.
b. Tahap Publisitas
Tahap ini merupakan lanjutan dari tahap pertama. Bentuk kegiatannya adalah press realese dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan untuk menjelaskan lebih lanjut jenis / macam pelayanan kesehatan apa saja yang diberikan pada system fasilitas pelayanan kesehatan.
c. Tahap Edukasi
Tujuannya untuk meningkatkan pengetahuan, merubah sikap serta mengarahkan kepada perilaku yang diinginkan oleh kegiatan tersebut.
d. Tahap Motivasi
Tahap ini merupakan kelanjutan dari tahap edukasi perorangan / masyarakat setelah mengikuti pendidikan kesehatan, benar-benar merubah perilakunya sehari-hari sesuai dengan perilaku yang dianjurkan oleh pendidikan kesehatan pada tahap ini.
(Machfoedz I & Suryan E, 2000 : 12)


DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2001. “Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol.1”. Jakarta : EGC.
Machfoedz, I & Suryan, Eko. 2008. “Pendidikan Kesehatan Bagian dari Promosi Kesehatan”. Yogyakarta : Fitramaya.
Mubarak, Wahid Iqbal, dkk. 2007. “Promosi Kesehatan”. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Notoatmojo, Soekidjo. 2007. “Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni”. Jakarta : Rineka Cipta.
http://wikipedia.org/wiki/health.education.

Percaya Diri

Mengenal Potensi Diri

DM

Motivasi

Sistem Kardiovaskuler

Mekanisme Pembuluh Darah Balik

Diabetes Mellitus

Resistensi Insulin

Askep Tonsilitis

A. Definisi
Tonsilitis merupakan peradangan pada tonsil yang disebabkan oleh bakteri atau kuman streptococcusi beta hemolyticus, streptococcus viridans dan streptococcus pyogenes dapat juga disebabkan oleh virus, pada tonsillitis ada dua yaitu Tonsilitis Akut danTonsilitis Kronik.

B. Etiologi
Disebabkan oleh kuman streptococcus beta hemolyticus, streptococcus viridans dan streptococcus pyogenes yang menjadi penyebab terbanyak dapat juga disebabkan oleh virus. Faktor predisposis adanya rangsangan kronik (rokok, makanan), pengaruh cuaca, pengobatan radang akut yang tidak adekuat dan higiene, mulut yang buruk.

C. Anatomi Fisiologi Faring
Pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai persambungannya dengan oesofagus pada ketinggian tulang rawan krikoid.
Faring terbagi menjadi tiga bagian:
1. Nasofaring : bagian posterior rongga nasal yang membuka ke arah rongga nasal melalui dua naris internal (koana) :
a. Dua Tuba Eustachius (auditorik) yang menghubungkan nasofaring dengan telinga tengah. Tuba ini berfungsi untuk menyetarakan tekanan udara kedua sisi gendang telinga.
b. Amandel (adenoid) faring adalah penumpukan jaringan limfatik yang terletak di dekat naris internal. Pembesaran pada adenoid dapat menghambat aliran darah.
2. Orofaring : dipisahkan dari nasofaring oleh palatum lunak muscular, suatu perpanjangan palatum keras tulang.
1. Uvula (anggur kecil) adalah prosesus kerucut (conical) kecil yang menjulur ke bawah dari bagian tengah tepi bawah palatum lunak.
2. Amandel palatinum terletak pada kedua sisi orofaring posterior
3. Laringofaring : mengelilingi mulut esophagus dan laring, yang merupakan gerbang untuk sistem respiratorik selanjutnya. Merupakan penghubung antara rongga mulut dan kerongkongan. Berasal dari bahasa yunani yaitu Pharynk.
Didalam lengkung faring terdapat tonsil ( amandel ) yaitu kelenjar limfe yang banyak mengandung kelenjar limfosit dan merupakan pertahanan terhadap infeksi, disini terletak bersimpangan antara jalan jalan makanan, letaknya dibelakang rongga mulut dan rongga hidung, didepan ruas tulang belakang nafas dan
D. Patofisiologi
Penyebab terserang tonsilitis akut adalah streptokokus beta hemolitikus grup A. Bakteri lain yang juga dapat menyebabkan tonsilitis akut adalah Haemophilus influenza dan bakteri dari golongan pneumokokus dan stafilokokus. Virus juga kadang – kadang ditemukan sebagai penyebab tonsilitis akut.
1. Pada Tonsilitis Akut
Penularan terjadi melalui droplet dimana kuman menginfiltrasi lapisan Epitel kemudian bila Epitel ini terkikis maka jaringan Umfold superkistal bereaksi dimana terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfo nuklear.
2.Pada Tonsilitif Kronik
Terjadi karena proses radang berulang maka Epitel mukosa dan jaringan limpold terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limpold, diganti oleh jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan di isi oleh detritus proses ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul purlengtan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris.
Jadi tonsil meradang dan membengkak, terdapat bercak abu – abu atau kekuningan pada permukaannya, dan jika berkumpul maka terbentuklah membran. Bercak – bercak tersebut sesungguhnya adalah penumpukan leukosit, sel epitel yang mati, juga kuman – kuman baik yang hidup maupun yang sudah mati.

E. Tanda dan Gejala
Keluhan pasien biasanya berupa nyeri tenggorokan, sakit menelan, dan kadang – kadang pasien tidak mau minum atau makan lewat mulut. Penderita tampak loyo dan mengeluh sakit pada otot dan persendian. Biasanya disertai demam tinggi dan napas yang berbau, yaitu :

• Suhu tubuh naik sampai 40oC.
• Rasa gatal atau kering ditenggorokan.
• Lesu.
• Nyeri sendi, odinofagia.
• Anoreksia dan otolgia.
• Bila laring terkena suara akan menjadi serak.
• Tonsil membengkak.
• Pernapasan berbau.

F. Pemeriksaan Penunjang
• Kultur dan uji resistensi bila perlu.
• Kultur dan uji resistensi kuman dari sediaan apus tonsil.

G. Penatalaksanaan Medis
Sebaiknya pasien tirah baring. Cairan harus diberikan dalam jumlah yang cukup, serta makan – makanan yang berisi namun tidak terlalu padat dan merangsang tenggorokan. Analgetik diberikan untuk menurunkan demam dan mengurangi sakit kepala. Di pasaran banyak beredar analgetik (parasetamol) yang sudah dikombinasikan dengan kofein, yang berfungsi untuk menyegarkan badan.
Jika penyebab tonsilitis adalah bakteri maka antibiotik harus diberikan. Obat pilihan adalah penisilin. Kadang – kadang juga digunakan eritromisin. Idealnya, jenis antibiotik yang diberikan sesuai dengan hasil biakan. Antibiotik diberikan antara 5 sampai 10 hari.
Jika melalui biakan diketahui bahwa sumber infeksi adalah Streptokokus beta hemolitkus grup A, terapi antibiotik harus digenapkan 10 hari untuk mencegah kemungkinan komplikasi nefritis dan penyakit jantung rematik. Kadang – kadang dibutuhkan suntikan benzatin penisilin 1,2 juta unit intramuskuler jika diperkirakan pengobatan orang tidak adekuat.
• Terapi obat lokal untuk hegiene mulut dengan obat kumur atau obat isap.
• Antibiotik golongan penisilin atau sulfonamida selama 5 hari.
• Antipiretik.
• Obat kumur atau obat isap dengan desinfektan.
• Bila alergi pada penisilin dapat diberikan eritromisin atau klindamigin.

H. FOKUS PENGKAJIAN
1. Keluhan utama
Sakit tenggorokan, nyeri telan, demam dll
2. Riwayat penyakit sekarang : serangan, karakteristik, insiden, perkembangan, efek terapi dll
3. Riwayat kesehatan lalu
4. Riwayat penyakit yang pernah diderita ( faringitis berulang, ISPA, otitis media )
5. Pengkajian umum
Usia, tingkat kesadaran, antopometri, tanda – tanda vital dll
1. Pernafasan
Kesulitan bernafas, batuk ukuran besarnya tonsil dinyatakan dengan :
• T0 : bila sudah dioperasi
• T1 : ukuran yang normal ada
• T2 : pembesaran tonsil tidak sampai garis tengah
• T3 : pembesaran mencapai garis tengah
• T4 : pembesaran melewati garis tengah
2. Nutrisi
Sakit tenggorokan, nyeri telan, nafsu makan menurun, menolak makan dan minum, turgor kurang
3. Aktifitas / istirahat
Anak tampak lemah, letargi, iritabel, malaise
4. Keamanan / kenyamanan
Kecemasan anak terhadap hospitalisasi

I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada tonsilitis akut adalah :
1. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi pada faring dan tonsil
2. Nyeri berhubungan dengan pembengkakan pada tonsi
3. Resiko perubahan status nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan adanya anoreksia
4. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan
5. Gangguan persepsi sensori : pendengaran berhubungan dengan adanya obstruksi pada tuba eustakii

J. FOKUS INTERVENSI
1. DP : hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi pada tonsil
Intervensi
• Pantau suhu tubuh anak ( derajat dan pola ), perhatikan menggigil atau tidak
• Pantau suhu lingkungan
• Batasi penggunaan linen, pakaian yang dikenakan klien
• Berikan kompres hangat
• Berikan cairan yang banyak ( 1500 – 2000 cc/hari )
• Kolaborasi pemberian antipiretik
2. DP : nyeri berhubungan dengan pembengkakan pada tonsil
Intervensi :
• Pantau nyeri klien(skala, intensitas, kedalaman, frekuensi )
• Kaji TTV
• Berikan posisi yang nyaman
• Berikan tehnik relaksasi dengan tarik nafas panjang melalui hidung dan mengeluarkannya pelan – pelan melalui mulut
• Berikan tehnik distraksi untuk mengalihkan perhatian anak
• Kolaborasi pemberian analgetik

3. DP : resiko perubahan status nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan adanya anoreksia
Intervensi :
• Kaji conjungtiva, sclera, turgor kulit
• Timbang BB tiap har
• Berikan makanan dalam keadaan hangat
• Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering, sajikan makanan dalam bentuk yang menarik
• Tingkatkan kenyamanan lingkungan saat makan
• Kolaborasi pemberian vitamin penambah nafsu makan

4. DP : intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan
Intervensi :
• Kaji kemampuan klien dalam melakukan aktifitas
• Observasi adanya kelelahan dalam melakukan aktifitas
• Monitor TTV sebelum, selama dan sesudah melakukan aktifitas
• Berikan lingkungan yang tenang
• Tingkatkan aktifitas sesuai toleransi klien

5. DP : gangguan persepsi sensori : pendengaran berhubungan dengan adanya obstruksi pada tuba eustakii
Intervensi :
• Kaji ulang gangguan pendengaran yang dialami klien
• Lakukan irigasi telinga
• Berbicaralah dengan jelas dan pelan
• Gunakan papan tulis / kertas untuk berkomunikasi jika terdapat kesulitan dalam berkomunikasi
• Kolaborasi pemeriksaan audiometric
• Kolaborasi pemberian tetes telinga

http://hayato31.blogspot.com/2009/05/askep-tonsilitis.html

Askep Ca Nasofaring

A. Definisi
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring. Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 146)

B. Epidemiologi dan etiologi
Urutan tertinggi penderita karsinoma nasofaring adalah suku mongoloid yaitu 2500 kasus baru pertahun. Diduga disebabkan karena mereka memakan makanan yang diawetkan dalam musim dingin dengan menggunakan bahan pengawet nitrosamin. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 146).
Insidens karsinoma nasofaring yang tinggi ini dihubungkan dengan kebiasaan makan, lingkungan dan virus Epstein-Barr (Sjamsuhidajat, 1997 hal 460).
Selain itu faktor geografis, rasial, jenis kelamin, genetik, pekerjaan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi kuman atau parasit juga sangat mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ini. Tetapi sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-barr, karena pada semua pasien nasofaring didapatkan titer anti-virus EEB yang cukup tinggi (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 146).

C. Anatomi Fisiologi Faring

Pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai persambungannya dengan oesofagus pada ketinggian tulang rawan krikoid.
Faring terbagi menjadi tiga bagian:
1. Nasofaring : bagian posterior rongga nasal yang membuka ke arah rongga nasal melalui dua naris internal (koana) :
a. Dua Tuba Eustachius (auditorik) yang menghubungkan nasofaring dengan telinga tengah. Tuba ini berfungsi untuk menyetarakan tekanan udara kedua sisi gendang telinga.
b. Amandel (adenoid) faring adalah penumpukan jaringan limfatik yang terletak di dekat naris internal. Pembesaran pada adenoid dapat menghambat aliran darah.
2. Orofaring : dipisahkan dari nasofaring oleh palatum lunak muscular, suatu perpanjangan palatum keras tulang.
1. Uvula (anggur kecil) adalah prosesus kerucut (conical) kecil yang menjulur ke bawah dari bagian tengah tepi bawah palatum lunak.
2. Amandel palatinum terletak pada kedua sisi orofaring posterior
3. Laringofaring : mengelilingi mulut esophagus dan laring, yang merupakan gerbang untuk sistem respiratorik selanjutnya. Merupakan penghubung antara rongga mulut dan kerongkongan. Berasal dari bahasa yunani yaitu Pharynk.
Didalam lengkung faring terdapat tonsil ( amandel ) yaitu kelenjar limfe yang banyak mengandung kelenjar limfosit dan merupakan pertahanan terhadap infeksi, disini terletak bersimpangan antara jalan jalan makanan, letaknya dibelakang rongga mulut dan rongga hidung, didepan ruas tulang belakang nafas dan
D. Patofisiologi
Infeksi virus Epstein-Barr dapat menyebabkan karsinoma nasofaring. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan protein-protein laten pada penderita karsinoma nasofaring. Pada penderita ini sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus di dalam sel host. Protein laten ini dapat dipakai sebagai petanda (marker) dalam mendiagnosa karsinoma nasofaring, yaitu EBNA-1 dan LMP-1, LMP- 2A dan LMP-2B. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya pada 50% serum penderita karsinoma nasofaring LMP-1 sedangkan EBNA-1 dijumpai di dalam serum semua pasien karsinoma nasofaring.
Hubungan antara karsinoma nasofaring dan infeksi virus Epstein-Barr juga dinyatakan oleh berbagai peneliti dari bagian yang berbeda di dunia ini . Pada pasien karsinoma nasofaring dijumpai peninggian titer antibodi anti EBV (EBNA-1) di dalam serum plasma. EBNA-1 adalah protein nuklear yang berperan dalam mempertahankan genom virus. Huang dalam penelitiannya, mengemukakan keberadaan EBV DNA dan EBNA di dalam sel penderita karsinoma nasofaring.
Terdapat 5 stadium pada karsinoma nasofaring yaitu:
1. Stadium 0: sel-sel kanker masih berada dalam batas nasopharing, biasa disebut nasopharynx in situ
2. Stadium 1: Sel kanker menyebar di bagian nasopharing
3. Stadium 2: Sel kanker sudah menyebar pada lebih dari nasopharing ke rongga hidung. Atau dapat pula sudah menyebar di kelenjar getah bening pada salah satu sisi leher.
4. Stadium 3: Kanker ini sudah menyerang pada kelenjar getah bening di semua sisi leher
5. Stadium 4: kanker ini sudah menyebar di saraf dan tulang sekitar wajah. Konsumsi ikan asin yang berlebih serta pemaparan zat-zat karsinogen dapat mengaktifkan Virus Epstein Barr ( EBV). Ini akan menyebabkan terjadinya stimulasi pembelahan sel abnormal yang tidak terkontrol, sehingga terjadi differensiasi dan proliferasi protein laten (EBNA-1). Hal inilah yang memicu pertumbuhan sel kanker pada nasofaring, dalam hal ini terutama pada fossa Rossenmuller

E. Tanda dan Gejala
Gejala karsinoma nasofaring dapat dikelompokkan menjadi 4 bagian, yaitu antara lain :
a. Gejala nasofaring
Adanya epistaksis ringan atau sumbatan hidung.Terkadang gejala belum ada tapi tumor sudah tumbuh karena tumor masih terdapat dibawah mukosa (creeping tumor)
b. Gangguan pada telinga
Merupakan gejala dini karena tempat asal tumor dekat muara tuba Eustachius (fosa Rosenmuller). Gangguan dapat berupa tinitus, tuli, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia)
c. Gangguan mata dan syaraf
Karena dekat dengan rongga tengkorak maka terjadi penjalaran melalui foramen laserum yang akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI sehingga dijumpai diplopia, juling, eksoftalmus dan saraf ke V berupa gangguan motorik dan sensorik. Karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan XII jika penjalaran melalui foramen jugulare yang sering disebut sindrom Jackson. Jika seluruh saraf otak terkena disebut sindrom unialteral. Prognosis jelek bila sudah disertai destruksi tulang tengkorak.
d. Metastasis ke kelenjar leher
Yaitu dalam bentuk benjolan medial terhadap muskulus sternokleidomastoid yang akhirnya membentuk massa besar hingga kulit mengkilat. Hal inilah yang mendorong pasien untuk berobat. Suatu kelainan nasofaring yang disebut lesi hiperplastik nasofaring atau LHN telah diteliti dicina yaitu 3 bentuk yang mencurigakan pada nasofaring seperti pembesaran adenoid pada orang dewasa, pembesaran nodul dan mukositis berat pada daerah nasofaring. Kelainan ini bila diikuti bertahun – tahun akan menjadi karsinoma nasofaring. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 147 -148).

C. Pemeriksaan Penunjang
a. Nasofaringoskopi
b. Untuk diagnosis pasti ditegakkan dengan Biopsi nasofaring dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung dan mulut. Dilakukan dengan anestesi topikal dengan Xylocain 10 %.
c. Pemeriksaan CT-Scan daerah kepala dan leher untuk mengetahui keberadaan tumor sehingga tumor primer yang tersembunyi pun akan ditemukan.
d. Pemeriksaan Serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk mengetahui infeksi virus E-B.
e. Pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 148 - 149).

D. Penatalaksanaan Medis
a. Radioterapi merupakan pengobatan utama
b. Pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher ( benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran atau timbul kembali setelah penyinaran dan tumor induknya sudah hilang yang terlebih dulu diperiksa dengan radiologik dan serologik) , pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan antivirus. Pemberian ajuvan kemoterapi yaitu Cis-platinum, bleomycin dan 5-fluorouracil. Sedangkan kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dan cis-platinum. Kombinasi kemo-radioterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral sebelum diberikanradiasi yang bersifat “RADIOSENSITIZER”.

E. Pengkajian
a. Faktor herediter atau riwayat kanker pada keluarga misal ibu atau nenek dengan riwayat kanker payudara.
b. Lingkungan yang berpengaruh seperti iritasi bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu.
c. . Kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu dan kebiasaan makan makanan yang terlalu panas serta makanan yang diawetkan ( daging dan ikan).
d. Golongan sosial ekonomi yang rendah juga akan menyangkut keadaan lingkungan dan kebiasaan hidup. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 146)
1. Aktivitas
Kelemahan atau keletihan. Perubahan pada pola istirahat; adanya faktor-faktor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas.
2. Sirkulasi
Akibat metastase tumor terdapat palpitasi, nyeri dada, penurunan tekanan darah, epistaksis/perdarahan hidung.
3. Integritas ego
Faktor stres, masalah tentang perubahan penampilan, menyangkal diagnosis, perasaan tidak berdaya, kehilangan kontrol, depresi, menarik diri, marah.
4. Eliminasi
Perubahan pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan eliminasi urin, perubahan bising usus, distensi abdomen.
5. Makanan/cairan
Kebiasaan diit buruk ( rendah serat, aditif, bahanpengawet), anoreksia, mual/muntah, mulut rasa kering, intoleransi makanan,perubahan berat badan, kakeksia, perubahan kelembaban/turgor kulit.
6. Neurosensori
Sakit kepala, tinitus, tuli, diplopia, juling, eksoftalmus
7. Nyeri/kenyamanan
Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri telinga (otalgia), rasa kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran
8. Pernapasan
Merokok (tembakau, mariyuana, hidup dengan seseorang yang merokok), pemajanan
9. Keamanan
Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen, pemajanan matahari lama / berlebihan, demam, ruam kulit.
10. Seksualitas
Masalah seksual misalnya dampak hubungan, perubahan pada tingkatkepuasan.
11. Interaksi sosial
Ketidakadekuatan/kelemahan sistem pendukung (Doenges, 2000)

F. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
1. Nyeri berhubungan dengan kompresi/destruksi karingan saraf
Tujuan : rasa nyeri teratasi atau terkontrol
Kriteria hasil : mendemonstrasikan penggunaan ketrampilan relaksasi nyeri .
Intervensi :
a. Tentukan riwayat nyeri misalnya lokasi, frekuensi, durasi
b. Berikan tindakan kenyamanan dasar (reposisi, gosok punggung) dan aktivitas hiburan
c. Dorong penggunaan ketrampilan manajemen nyeri (teknik relaksasi, visualisasi, bimbingan imajinasi) musik, sentuhan terapeutik.
d. Evaluasi penghilangan nyeri atau control
e. Kolaborasi : berikan analgesik sesuai indikasi misalnya Morfin, metadon atau campuran narkotik.

2. Gangguan sensori persepsi berubungan dengan gangguan status organ sekunder metastase tumor
Tujuan : mampu beradaptasi terhadap perubahan sensori pesepsi
Kriteria hasil : mengenal gangguan dan berkompensasi terhadap perubahan
Intervensi :
a. Tentukan ketajaman penglihatan, apakah satu atau dua mata terlibat
b. Orientasikan pasien terhadap lingkungan
c. Observasi tanda-tanda dan gejala disorientas
d. Perhatikan tentang suram atau penglihatan kabur
e. Bicara dengan gerak mulut yang jelas
f. Bicara pada sisi telinga yang sehat

3. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual muntah sekunder kemoterapi radiasi
Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.
Kriteria hasil :
1. Melaporkan penurunan mual dan insidens muntah
2. Mengkonsumsi makanan dan cairan yang adekuat
3. Menunjukkan turgor kulit normal dan membran mukosa yang lembab
4. Melaporkan tidak adanya penurunan berat badan tambahan
Intervensi :
a. Sesuaikan diet sebelum dan sesudah pemberian obat sesuai dengan kesukaan dan toleransi pasien
b. Berikan dorongan higiene oral yang sering Berikan antiemetik, sedatif dan kortikosteroid yang diresepkan
c. Pastikan hidrasi cairan yang adekuat sebelum, selama dan setelah pemberian obat, kaji masukan dan haluaran.
d. Pantau masukan makanan tiap hari.
e. Ukur TB, BB dan ketebalan kulit trisep (pengukuran antropometri)
f. Dorong pasien untuk makan diet tinggi kalori, kaya nutrien dengan masukan cairan adekuat.

4. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan sekunder imunosupresi
Tujuan : tidak terjadi infeksi
Kriteria hasil :
1. Menunjukkan suhu normal dan tanda-tanda vital normal
2. Tidak menunjukkan tanda-tanda inflamasi : edema setempat, eritema, nyeri.
3. Menunjukkan bunyi nafas normal, melakukan nafas dalam untuk menegah disfungsi dan infeksi respiratori
Intervensi :
1. Kaji pasien terhadap bukti adanya infeksi
2. Periksa tanda vital, pantau jumlah SDP, tempat masuknya patogen, demam, menggigil, perubahan respiratori atau status mental, frekuensi berkemih atau rasa perih saat berkemih
3. Tingkatkan prosedur cuci tangan yang baik pada staf dan pengunjung, batasi pengunjung yang mengalami infeksi.
4. Tekankan higiene personal
5. Pantau suhu
6. Kaji semua sistem (pernafasan, kulit, genitourinaria)


http://www.fadlie.web.id/askep/askep-kanker-nasofaring9s.pdf

Askep Basalioma

BASALIOMA

Infeksi Nosokomial

Infeksi Nosokomial

Metabolisme Purin Pirimidin

Metabolisme Purin Pirimidin

Interaksi & Komunikasi Antar Sel

Interaksi Dan Komunikasi Antar Sel

Askep Pedikulosis

PEDIKULOSIS

Askep Pneumothoraks

PP PNEUMOTORAKS

Askep Thypoid Fever

A. Defenisi
Typhoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi salmonella Thypi. Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi oleh fases dan urine dari orang yang terinfeksi kuman salmonella. ( Bruner and Sudart, 1994 ).
Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella thypi dan salmonella para thypi A,B,C. sinonim dari penyakit ini adalah Typhoid dan paratyphoid abdominalis. (Syaifullah Noer, 1996).
Typhoid adalah suatu penyakit pada usus yang menimbulkan gejala-gejala sistemik yang disebabkan oleh salmonella typhosa, salmonella type A.B.C. penularan terjadi secara pecal, oral melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi (Mansoer Orief.M. 1999).

B. Anatomi Fisiologi Sistem Pencernaan
Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring), kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar, rektum dan anus. Sistem pencernaan juga meliputi organ-organ yang terletak diluar saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati dan kandung empedu.
1. Mulut
Mulut adalah rongga lonjong pada permulaan saluran pencernaan. Mulut terdiri dari gigi yang fungsinya mengunyah makanan, lidah yang berfungsi untuk menggerakkan makanan, dan kelenjar saliva yang berfungsi mengubah makanan menjadi bolus.
2. Faring
Faring merupakan organ yang menghubungkan rongga mulut dengan kerongkongan (esofagus). Terdapat tonsil (amandel) yaitu kumpulan kelenjar limfe yang banyak mengandung limfosit dan merupakan pertahanan terhadap infeksi.
3. Esofagus
Esofagus adalah sebuah tabung berotot yang panjangnya 20-25 cm dimulai dari faring sampai pintu masuk kardiak lambung. Fungsinya hanya untuk melewatkan makanan.
4. Lambung
Lambung terdiri dari kardiak, fundus, body, antrum, dan spingter pilori. Fungsinya sebagai tempat penyimpanan makanan, mengaduk, memecah, dan mendorong makanan ke usus halus.
5. Usus Halus
Usus halus terdiri dari Duodenum, Jejenum, dan Ileum. Fungsi usus halus adalah sebagai tempat absorbsi elektrolit, mineral, kalium, kalsium, magnesium, besi, dan HCO3. Usus halus juga sebagai tempat mengabsorbsi nutrisi berupa karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin.
6. Usus Besar (Kolon)
Usus besar terdiri dari caecum, asendends, transversum, desendends, dan sigmoid. Fungsinya adalah menyerap air dan elektrolit 80-90% dari makanan dan mengubah dari cairan menjadi massa.
7. Rektum dan Anus
Anus adalah saluran cerna yang menghubungkan rektum dengan dunia luar.Anus terdiri dari 3 spingter :
- Spingter Ani Internus
- Spingter Levator Ani
- Spingter Ani Eksternus

Organ-organ yang terletak diluar saluran cerna :
a) Hati, Fungsinya : Sekresi empedu; mempertahankan hemostatik gula darah; menyimpan glikogen, lemak Vit. ADEK dan zat besi yang disimpan sebagai feritin; mengubah zat buangan dan bahan racun untuk disekresi dalam empedu dan urin.
b) Empedu, Fungsinya sebagai persediaan getah empedu dan membuat getah empedu menjadi kental.
c) Pankreas, Fungsi eksokrin ; membentuk getah pankreas. Fungsi endokrin ; mensekresi insulin dan glukagon.

Fisiologi sistem pencernaan
Makanan masuk ke dalam mulut, diproses oleh gigi, lidah, dan kelenjar saliva. Setelah itu makanan masuk ke faring lalu lewat melalui esofagus menuju lambung. Di lambung makanan disimpan dan diproses sementara dan didorong ke usus halus menuju ke hati melalui pembuluh kapiler darah di vili, dan vena portal. Sisa-sisa makanan yang tidak dapat diserap oleh hati akan didorong ke usus besar. Sisa makanan akan diserap kembali berupa air dan elektrolit dan akan diubah menjadi massa. Kemudian sisa makanan akan dikeluarkan melalui rektum dan anus melalui proses defekasi.

C. Etiologi
Etiologi typhoid adalah salmonella typhi. Salmonella para typhi A. B dan C. ada dua sumber penularan salmonella typhi yaitu pasien dengan demam typhoid dan pasien dengan carier. Carier adalah orang yang sembuh dari demam typhoid dan masih terus mengekresi salmonella typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari 1 tahun.

D. Tanda dan Gejala
Masa tunas typhoid 10 - 14 hari
Minggu I. Pada umumnya demam berangsur naik, terutama sore hari dan malam hari. Dengan keluhan dan gejala demam, nyeri otot, nyeri kepala, anorexia dan mual, batuk, epitaksis, obstipasi / diare, perasaan tidak enak di perut.
Minggu II, Pada minggu II gejala sudah jelas dapat berupa demam, bradikardi, lidah yang khas (putih, kotor, pinggirnya hiperemi), hepatomegali, meteorismus, penurunan kesadaran.
E. Patofisiologi
Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal dengan 5 F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan / kuku), Fomitus (muntah), Fly (lalat), dan melalui feses. Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman salmonella thypi kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana lalat akan hinggap dimakanan yang akan dimakan oleh orang yang sehat. Apabila orang tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar kuman salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut. Kemudian kuman masuk ke dalam lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus bagian distal dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam jaringan limpoid ini kuman berkembang biak, lalu masuk ke aliran darah dan mencapai sel-sel retikuloendotelial. Sel-sel retikuloendotelial ini kemudian melepaskan kuman ke dalam sirkulasi darah dan menimbulkan bakterimia, kuman selanjutnya masuk limpa, usus halus dan kandung empedu.
F. Pemeriksaan Diagnostik dan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium :
1. Uji_Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita typhoid. Akibat infeksi oleh salmonella thypi, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :
o Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman).
o Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel kuman).
o Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita typhoid.
2. Pemeriksaan_SGOT_DAN_SGPT
SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali normal setelah sembuhnya typhoid.
G. Penatalaksanaan Medis
1. Perawatan
o Pasien diistirahatkan 7 hari sampai demam turun atau 14 hari untuk mencegah komplikasi perdarahan usus.
o Mobilisasi bertahap bila tidak ada panas, sesuai dengan pulihnya tranfusi bila ada komplikasi perdarahan.
2. Diet
o Diet yang sesuai, cukup kalori dan tinggi protein.
o Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring.
o Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim.
o Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam selama 7 hari.
3. Pengobatan
o Klorampenikol
o Tiampenikol
o Kotrimoxazol
o Amoxilin dan ampicillin
H. Pengkajian Asuhan Keperawatan
1. Riwayat Kesehatan Sekarang
Mengapa pasien masuk Rumah Sakit dan apa keluahan utama pasien, sehingga dapat ditegakkan prioritas masalah keperawatan yang dapat muncul.
2. Riwayat Kesehatan Sebelumnya
Apakah sudah pernah sakit dan dirawat dengan penyakit yang sama.
3. Riwayat Kesehatan Keluarga
Apakah ada dalam keluarga pasien yang sakit seperti pasien.
4. Riwayat Psikososial
Intrapersonal : perasaan yang dirasakan klien (cemas / sedih)
Interpersonal : hubungan dengan orang lain.
5. Pola Fungsi kesehatan
Pola nutrisi dan metabolisme : Biasanya nafsu makan klien berkurang karena terjadi gangguan pada usus halus.
Pola istirahat dan tidur : Lama sakit pasien merasa tidak dapat istirahat karena pasien merasakan sakit pada perutnya, mual, muntah, kadang diare.
6. Pemeriksaan Fisik
o Kesadaran dan keadaan umum pasien.
Kesadaran pasien perlu di kaji dari sadar - tidak sadar (composmentis - coma) untuk mengetahui berat ringannya prognosis penyakit pasien.
o Tanda - tanda vital dan pemeriksaan fisik Kepala – kaki
TD, Nadi, Respirasi, Temperatur yang merupakan tolak ukur dari keadaan umum pasien / kondisi pasien dan termasuk pemeriksaan dari kepala sampai kaki dengan menggunakan prinsip-prinsip inspeksi, auskultasi, palpasi, perkusi), disamping itu juga penimbangan BB untuk mengetahui adanya penurunan BB karena peningakatan gangguan nutrisi yang terjadi, sehingga dapat dihitung kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan.
I. Diagnosa Keperawatan
1. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses infeksi salmonella thypi.
2. Resiko tinggi pemenuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat.
3. Kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya berhubungan dengan kurang informasi

J. Intervensi dan Rasionalisasi dari Tindakan
Diagnosa Keperwatan 1. :
Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses infeksi salmonella thypi.
Tujuan : Suhu tubuh normal
Intervensi :
• Observasi suhu tubuh klien
Rasional : mengetahui perubahan suhu tubuh.
• Beri kompres dengan air hangat (air biasa) pada daerah axila, lipat paha, temporal bila terjadi panas
Rasional : melancarkan aliran darah dalam pembuluh darah.
• Anjurkan keluarga untuk memakaikan pakaian yang dapat menyerap keringat seperti katun
Rasional : menjaga kebersihan badan
• Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat anti piretik
Rasional : menurunkan panas dengan obat.
Diagnosa Keperawatan 2. :
Resiko tinggi pemenuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat.
Tujuan : Nutrisi kebutuhan tubuh terpenuhi
Intervensi :
• Kaji pola nutrisi klien
Rasional : mengetahui pola makan, kebiasaan makan, keteraturan waktu makan.
• Kaji makan yang di sukai dan tidak disukai
Rasional : meningkatkan status makanan yang disukai dan menghindari pemberian makan yang tidak disukai.
• Anjurkan tirah baring / pembatasan aktivitas selama fase akut
Rasional : penghematan tenaga, mengurangi kerja tubuh.
• Timbang berat badan tiap hari
Rasional : mengetahui adanya penurunan atau kenaikan berat badan.
• Anjurkan klien makan sedikit tapi sering
Rasional : mengurangi kerja usus, menghindari kebosanan makan.
• Kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian diet
Rasional : mengetahui makanan apa saja yang dianjurkan dan makanan yang tidak boleh dikonsumsi.
Diagnosa Keperawatan 3. :
Kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya berhubungan dengan kurang informasi
Tujuan : Pengetahuan keluarga meningkat
Intervensi :
• Kaji sejauh mana tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya
Rasional : mengetahui apa yang diketahui pasien tentang penyakitnya.
• Beri pendidikan kesehatan tentang penyakit dan perawatan pasien
Rasional : supaya pasien tahu tata laksana penyakit, perawatan dan pencegahan penyakit typhoid.
• Beri kesempatan pasien dan keluaga pasien untuk bertanya bila ada yang belum dimengerti
Rasional : mengetahui sejauh mana pengetahuan pasien dan keluarga pasien setelah di beri penjelasan tantang penyakitnya.
• Beri reinforcement positif jika klien menjawab dengan tepat
Rasional : memberikan rasa percaya diri pasien dalam kesembuhan sakitnya.
K. Hasil/Kriteria Evaluasi
DP 1 : Suhu tubuh kembali normal
DP 2 : Kebutuhan nutrisi tubuh terpenuhi
DP 3 : Pengetahuan keluarga tentang penyakit meningkat


Referensi
Doenges, Marilynn E. Mary FM. Alice CG. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
Pearce, Evelyn C. 2006. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
http://www.google.co.id. Rabu, 7 Juli 2010. Pukul 16.30 WIB

Hak dan kewajiban pasien

Hak adalah tuntutan terhadap sesuatu yang seseorang berhak, seperti kekuasaan atau hak istimewa (Fagin, 1975).
Peranan Hak :
1. Hak dapat digunakan untuk mengekspresikan kekuasaan dalam konflik antara seseorang dan kelompok.
2. Hak dapat digunakan untuk menjustifikasikan tindakan.
3. Hak dapat digunakan untuk menyelesaikan perselisihan.
Jenis hak :
1. Hak kebebasan, adalah hak mengenai kebebasan dan dipilih. Mereka mengekspresikan hak orang-orang untuk hidup sebagaimana mereka pilih dalam batas-batas yang ditentukan. (Fromer, 1981)
2. Hak kesejahteraan, adalah hak yang diberikan secara hukum seperti standar keselamatan spesifik dalam suatu bangunan atau sejumlah tahun pendidikan. (Fromer, 1981)
3. Hak legislatif, hak legislatif mempunyai empat peranan di masyarakat, yaitu membuat peraturan, mengubah peraturan, pembatas moral terhadap peraturan yang tidak adil, dan keputusan keadilan pengadilan atau menyelesaikan perselisihan.

Empat hak yang dinyatakan dalam fasilitas asuhan keperawatan (Annas dan Healey, 1974) :
1. Hak untuk kebenaran secara menyeluruh.
2. Hak untuk privasi dan martabat pribadi.
3. Hak untuk memelihara penentuan diri dengan berpartisipasi dalam keputusan sehubungan dengan kesehatan seseorang.
4. Hak untuk memperoleh catatan medis, baik selama maupun sesudah dirawat di rumah sakit.

Pernyataan hak pasien (a patient’s bill of rights) sebagai berikut :
1. Klien mempunyai hak untuk mempertimbangkan dan menghargai asuhan kesehatan/keperawatan yang akan diterimanya.
2. Memperoleh informasi lengkap dari dokter yang memeriksanya berkaitan dengan diagnosis, pengobatan, dan prognosis dalam arti pasien layak untuk mengerti masalah yang dihadapinya
3. Menerima informasi penting dan memberikan suatu persetujuan tentang dimulainya suatu prosedur pengobatan, serta resiko yang kemungkinan yang akan dialaminya dalam situasi darurat.
4. Menolak pengobatan sejauh diizinkan dan diinformasikan tentang konsekuensi tindakannya.
5. Mengetahui setiap pertimbangan dari privasinya yang menyangkut, program asuhan medis, konsultasi, dan pengobatan yang dilakukan dengan cermat dan dirahasiakan.
6. Atas kerahasiaan semua bentuk komunikasi dan catatan asuhan kesehatan/keperawatan yang diberikan kepadanya.
7. Mengerti bila diperlukan rujukan ditempat yang lain yang lebih lengkap dan memperoleh informasi yang lengkap alasan rujukan tersebut dan rumah sakit yang ditunjuk dapat meneromanya.
8. Memperoleh informasi tentang hubungan rumah ssakit dengan instansi lain seperti : instansi pendidikan atau instansi yang terkait lainya sehubungan dengan asuhan yang terimanya.
9. Memberi pendapat atau menolak bila diikut sertakan sebagai suatu eksperimen yang berhubungan dengan asuhan atau pengobatanya.
10. Memperoleh informasi tentang pemberian delegasi dari dokternya kepada dokter lain, bila dibutuhkan dalam rangka asuhannya.
11. Mengetahui dan menerima penjelasan tentang biaya yang diperlukan untuk asuhan kesehatannya.
12. Pasien berhak untuk mengetahui peraturan atau ketentuan rumah sakit yang harus dipatuhinya sebagai pasien selama ia dirawat.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HAK KLIEN
 Meningkatkan kesadaran konsumen mengenai hak asuhan kesehatan dan lebih besarnya partisipasi dalam merencankan asuhan tersebut.
 Meningkatnya jumlah malpraktek yang dipublikasikan sehingga menggugah kesadaran masyarakat.
 Legislasi yang telah ditetapkan sebelumnya melindungi hubungan, seperti atasan-bawahan dan hak manusiawi serta legislasi kesamaan hak-hak secara umum.
 Adanya peningkatan penelitian dibidang kesehatan dan meningkatnya jumlah pasien untuk tujuan pendidikan
Kewajiban Klien :
 Pasien atau keluarganya wajib mentaati segala peraturan dan tata tertib yang ada di institusi kesehatan dan keperawatan yang memberikan pelayanan kepadanya.
 Pasien diwajibkan untuk mematuhi segala kebijakan yang ada baik dari dokter maupun perawat yang memberikan asuhan.
 Pasien dan keluarganya berkewajiban memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter atau perawat yang merawatnya
 Pasien dan keluarganya bertanggung jawab terhadapnya, berkewajiban untuk menyelesaikan biaya pengobatan, perawatan dan pemeriksaan yang diperlukan selama perawatannya.
 Pasien dan keluarganya berkewajiban untuk memenuhi segala sesuatu yang diperlukan sesuai dengan perjanjian atau kesepakatan yang telah disetujui sebelumnya.
REFERENSI
Hanafiah, Jusuf dan Amir, Amri. 1999. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan Ed. 3. Jakarta : EGC
Suhaemi, Mimin Emi. 2003. Etika Keperawatan Aplikasi Pada Praktek. Jakarta : EGC\
http://www.google.co.id

LP Kateterisasi

KATETERISASI

1. Definisi
Kateterisasi urine adalah tindakan memasukan selang kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra dengan tujuan mengeluarkan urine. Kateterisasi dapat menyebabkan hal - hal yang mengganggu kesehatan sehingga hanya dilakukan bila benar - benar diperlukan serta harus dilakukan dengan hati – hati ( Brockop dan Marrie, 1999 ).

2. Tujuan Pemasangan Kateter
a. Menghilangkan distensi kandung kemih
b. Mendapatkan spesimen urine
c. Sebelum operasi
d. Mengkaji jumlah residu urine, jika kandung kemih tidak mampu sepenuhnya dikosongkan

3. Indikasi dan Kontra Indikasi Pemasangan Kateter
Indikasi
Tindakan kateterisasi untuk tujuan diagnosis, misalnya ;
a. Memperoleh contoh urin pada wanita guna pemeriksaan kultur urin.
b. Mengukur residual urin pada pembesaran prostate
c. Memasukkan bahan kontras pemeriksaan seperti pada sistogram
d. Mengukur tekanan tekanan buli-buli seperti pada sindrom kompartemen abdomen
e. Mengetahui perbaikan atau perburukan pada trauma ginjal dari urin yang bertambah merah atau jernih yang keluar dari kateter
Tindakan kateterisasi untuk tujuan terapi, antara lain :
a. Mengeluarkan urin pada retensio urin
b. Membilas / irigasi buli-buli setelah operasi batu buli-buli, tumor buli atau prostate
c. Sebagai splint setelah operasi uretra seperti pada hipospadia
d. Untuk memasukkan obat ke buli-buli, misalnya pada carcinoma buli-buli
Kontra Indikasi : Ruptur urethra

4. Jenis-jenis Pemasangan Kateter
Menurut ( Brockop dan Marrie, 1999 ) Jenis – jenis pemasangan kateter urine terdiri dari :
a) Indewelling catheteter yang biasa disebut juga dengan retensi kateter / folley cateter – indewelling catheter dibuat sedemikian rupa sehingga tidak mudah lepas dari kandung kemih.
b) Intermitten catheter yang digunakan untuk jangka waktu yang pendek ( 5-10 menit ) dan klien dapat diajarkan untuk memasang dan melepas sendiri.
c) Prapubik catheter kadang - kadang digunakan untuk pemakaian secara permanent. Cara memasukan kateter dengan jenis ini dengan membuat sayatan kecil diatas suprapubik

5. Anatomi dan Fisiologi Sistem Perkemihan


a. Ginjal (Ren)
Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen di belakang peritoneum pada kedua sisi vertebra thorakalis ke 12 sampai vertebra lumbalis ke-3. Bentuk ginjal seperti biji kacang. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dari ginjal kiri, karena adanya lobus hepatis dexter yang besar.
Berat ginjal : Pria (150-170 gr) Panjang ginjal : 6-7 cm
Wanita (115-150 gr) Tebal ginjal : 1,5-2,5 cm
Fungsi ginjal :
a) memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat toksis atau racun,
b) mempertahankan suasana keseimbangan cairan,
c) mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh,
d) mengeluarkan sisa-sisa metabolisme akhir dari protein ureum, kreatinin dan amoniak.

Hormon-hormon yang dihasilkan oleh ginjal :
1. Eritropoietin (EPO) yang membantu merangsang sumsum tulang membuat sel-sel darah merah
2. Renin yang membantu mengatur tekanan darah
3. Kalsitriol yaitu bentuk aktif vitamin D yang membantu proses penyerapan kalsium dan menjaga keseimbangan kimia dalam tubuh.

b. Ureter
Terdiri dari 2 saluran pipa masing-masing bersambung dari ginjal ke vesika urinaria. Panjangnya ± 25-30 cm, dengan penampang 0,5 cm. Ureter sebagian terletak pada rongga abdomen dan sebagian lagi terletak pada rongga pelvis.
Lapisan dinding ureter terdiri dari:
a. Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa)
b. Lapisan tengah lapisan otot polos
c. Lapisan sebelah dalam lapisan mukosa
Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan-gerakan peristaltic yang mendorong urin masuk ke dalam kandung kemih.
c. Vesika Urinaria
Vesika urinaria bekerja sebagai penampung urin. Organ ini berbentuk seperti buah pir (kendi). letaknya d belakang simfisis pubis di dalam rongga panggul. Vesika urinaria dapat mengembang dan mengempis seperti balon karet.
Dinding kandung kemih terdiri dari:
1. Lapisan sebelah luar (peritoneum).
2. Tunika muskularis (lapisan berotot).
3. Tunika submukosa.
4. Lapisan mukosa (lapisan bagian dalam).
d. Uretra
Panjang uretra wanita : 4-5 cm, laki-laki : 16-20 cm.
Dinding uretra terdiri dari 3 lapisan :
a) Lapisan otot polos, merupakan kelanjutan otot polos dari Vesika urinaria. Mengandung jaringan elastis dan otot polos. Sphincter urethra menjaga agar urethra tetap tertutup.
b) Lapisan submukosa, lapisan longgar mengandung pembuluh darah dan saraf.
c) Lapisan mukosa.
Fisiologi Sistem Perkemihan
Cairan masuk ke dalam tubuh dan diproses oleh ginjal melalui 3 proses yaitu filtrasi, reabsorbsi, dan sekresi. Cairan masuk ke vesika urinaria melalui ureter. Setelah penuh akan menekan dinding vesika urinaria dan merangsang saraf sensorik. Saraf sensorik akan merangsang medulla spinalis, medulla spinalis akan merangsang pusat berkemih yang ada di korteks serebri kemudian medulla spinalis akan mengimpuls otak untuk memerintahkan spingter internal untuk membuka kemudian cairan akan masuk dan menekan dinding spingter eksternal. Spingter eksternal akan membuka dan urin akan keluar.

6. Prosedur Pemasangan Kateter
Persiapan Alat :

1) Bak instrumen berisi :
Poly kateter sesuai ukuran 1 buah
Urine bag steril 1 buah
Pinset anatomi 2 buah
Duk steril
Kassa steril yang diberi jelly
2. Sarung tangan steril
3. Kapas sublimat dalam kom tertutup
4. Perlak dan pengalasnya 1 buah
5. Sampiran
6. Cairan aquades atau Nacl
7. Plester
8. Gunting perban
9. Bengkok 1 buah
10. Korentang pada tempatnya




Prosedur Pemasangan Kateter

Posisi pemasangan kateter pria Posisi pemasangan kateter wanita

Pemasangan kateter pada pria
a) Pasien diberi penjelasan tentang prosedur yang akan dilakukan, kemudian alat-alat didekatkan ke pasien
b) Pasang sampiran
c) Cuci tangan
d) Pasang pengalas/perlak dibawah bokong klien
e) Pakaian bagian bawah klien dikeataskan/dilepas, dengan posisi klien terlentang. Kaki sedikit dibuka. Bengkok diletakkan didekat bokong klien
f) Buka bak instrumen, pakai sarung tangan steril, pasang duk steril, lalu bersihkan alat genitalia dengan kapas sublimat dengan menggunakan pinset.
g) Bersihkan genitalia dengan cara : Penis dipegang dengan tangan non dominan penis dibersihkan dengan menggunakan kapas sublimat oleh tangan dominan dengan gerakan memutar dari meatus keluar. Tindakan bisa dilakukan beberapa kali hingga bersih. Letakkan pinset dalam bengkok
h) Ambil kateter kemudian olesi dengan jelly. Masukkan kateter kedalam uretra kira-kira 10 cm secara perlahan-lahan dengan menggunakan pinset sampai urine keluar. Masukkan Cairan Nacl/aquades 20-30 cc atau sesuai ukuran yang tertulis. Tarik sedikit kateter. Apabila pada saat ditarik kateter terasa tertahan berarti kateter sudah masuk pada kandung kemih
i) Lepaskan duk, sambungkan kateter dengan urine bag. Lalu ikat disisi tempat tidur
j) Fiksasi kateter
k) Lepaskan sarung tangan
l) Pasien dirapihkan kembali
m) Alat dirapihkan kembali
n) Mencuci tangan
o) Dokumentasi

Pemasangan kateter pada wanita
a) Pasien diberi penjelasan tentang prosedur yang akan dilakukan, kemudian alat-alat didekatkan ke pasien
b) Pasang sampiran
c) Cuci tangan
d) Pasang pengalas/perlak dibawah bokong klien
e) Pakaian bagian bawah klien dikeataskan/dilepas, dengan posisi klien terlentang. Kaki sedikit dibuka. Bengkok diletakkan didekat bokong klien
f) Buka bak instrumen, pakai sarung tangan steril, pasang duk steril, lalu bersihkan alat genitalia dengan kapas sublimat dengan menggunakan pinset.
g) Bersihkan genitalia dengan cara : dengan tangan nondominan perawat membuka vulva kemudian tangan kanan memegang pinset dan mengambil satu buah kapas sublimat. Selanjutnya bersihkan labia mayora dari atas kebawah dimulai dari sebelah kiri lalu kanan, kapas dibuang dalam bengkok, kemudian bersihkan labia minora, klitoris, dan anus. Letakkan pinset pada bengkok.
h) Tindakan bisa dilakukan beberapa kali hingga bersih. Letakkan pinset dalam bengkok
i) Ambil kateter kemudian olesi dengan jelly. Masukkan kateter kedalam uretra kira-kira 10 cm secara perlahan-lahan dengan menggunakan pinset sampai urine keluar. Masukkan Cairan Nacl/aquades 20-30 cc atau sesuai ukuran yang tertulis. Tarik sedikit kateter. Apabila pada saat ditarik kateter terasa tertahan berarti kateter sudah masuk pada kandung kemih
j) Lepaskan duk, sambungkan kateter dengan urine bag. Lalu ikat disisi tempat tidur
k) Fiksasi kateter
l) Lepaskan sarung tangan
m) Pasien dirapihkan kembali
n) Alat dirapihkan kembali
o) Mencuci tangan
p) Dokumentasi











Referensi
Pearce, Evelyn C. 2006. Anatomi dan fisiologi untuk paramedsc. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
http://bedahumum.wordpress.com/2008/10/10/kateterisasi/
http://www.fkunissula.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=7:katerisasi&catid=1:latest-news

Askep Struma

STRUMA
1. Defenisi
Struma adalah pembesaran kelenjar gondok yang disebabkan oleh penambahan jaringan kelenjar gondok yang menghasilkan hormon tiroid dalam jumlah banyak sehingga menimbulkan keluhan seperti berdebar-debar, keringat, gemetaran, bicara jadi gagap, mencret, berat badan menurun, mata membesar, penyakit ini dinamakan hipertiroid.

2. Etiologi
Adanya gangguan fungsional dalam pembentukan hormon tyroid merupakan faktor penyebab pembesaran kelenjar tyroid antara lain :
a. Defisiensi Iodium
b. Kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa hormon tyroid.
c. Penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia (seperti substansi dalam kol, lobak, kacang kedelai).
d. Penghambatan sintesa hormon oleh obat-obatan (misalnya : thiocarbamide, sulfonylurea dan litium).

3. Anatomi

Hormon tiroid menghasilkan :
a. T4 (Tiroxine), berfungsi untuk mempertahankan metabolisme tubuh.
b. T3 (Tridothyronin), berfungsi ntuk mempercepat metabolisme tubuh.

4. Patofisiologi
Iodium merupakan semua bahan utama yang dibutuhkan tubuh untuk pembentukan hormon tyroid. Bahan yang mengandung iodium diserap usus, masuk ke dalam sirkulasi darah dan ditangkap paling banyak oleh kelenjar tyroid. Dalam kelenjar, iodium dioksida menjadi bentuk yang aktif yang distimuler oleh Tiroid Stimulating Hormon kemudian disatukan menjadi molekul tiroksin yang terjadi pada fase sel koloid. Senyawa yang terbentuk dalam molekul diyodotironin membentuk tiroksin (T4) dan molekul Triodotironin (T3). Tiroksin (T4) menunjukkan pengaturan umpan balik negatif dari sekresi Tiroid Stimulating Hormon dan bekerja langsung pada tirotropihypofisis, sedang tyrodotironin (T3) merupakan hormon metabolik tidak aktif. Beberapa obat dan keadaan dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan dan metabolisme tyroid sekaligus menghambat sintesis tiroksin (T4) dan melalui rangsangan umpan balik negatif meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar hypofisis. Keadaan ini menyebabkan pembesaran kelenjar tyroid.

5. Tanda dan Gejala

a. Berdebar-debar
b. Keringat
c. Gemetaran
d. Bicara jadi gagap
e. Mencret
f. Berat badan menurun
g. Mata membesar

6. Pemeriksaan Penunjang dan Diagnostik

a. Pada palpasi teraba batas yang jelas, bernodul satu atau lebih, konsistensinya kenyal.
b. Scanning Tiroid
c. USG
d. Radiology Thorax


7. Penatalaksanaan
Tidak selalu harus semua kasus ditangani dengan operasi. Tindakan pembedahan dikerjakan dengan alasan; adanya nodule atau benjolan tunggal di salah satu bagian anatomis kelenjar tersebut yang dikhawatirkan bisa berkembang menjadi ganas. Adanya multi nodul – banyak benjolan - yang berat, penekanan terhadap saluran nafas dan dengan alasan estetik atau penampilan diri seseorang yang mengalami pembesaran di bagian leher depan itu. Tentu operasi dikerjakan setelah syarat-syaratnya terpenuhi termasuk hasil pemeriksaan lab yang menunjukkan fungsi kelenjar thyroid ini yang sebisa mungkin tidak sedang mengalami gangguan (hyper atau hipothyroid). Untuk menurunkan kadar hormone thyroksin dapat diberikan obat-obatan yang bisa menekan thyroid agar tidak memproduksi hormone yang berlebihan.
Pembedahan kelenjar thyroid disebut thyroidectomi. Pada pelaksanaannya ada yang mengangkat sebagian kelenjar (hemithyroidectomi, subtotal thyroidectomi, isthmolobectomi), keseluruhan (total thyroidectomi) atau bisa juga radikal thyroidectomi pada kasus kanker. Pemilihan itu tergantung dari kasus atau kelainan yang dijumpai. Pengaturan hormon tubuh jika thyroid diangkat total dapat digantikan dengan obat yang berfungsi seperti hormone tiroksin yang mesti teratur diminum sepanjang hidup.

8. Asuhan Keperawatan Secara Teoritis
Pengkajian merupakan langkah awal dari dasar dalam proses keperawatan secara keseluruhan guna mendapat data atau informasi yang dibutuhkan untuk menentukan masalah kesehatan yang dihadapi pasien melalui wawancara, observasi, dan pemeriksaan fisik meliputi :
1. Aktivitas/istirahat ; insomnia, otot lemah, gangguan koordinasi, kelelahan berat, atrofi otot.
2. Eliminasi ; urine dalam jumlah banyak, perubahan dalam faeces, diare.
3. Integritas ego ; mengalami stres yang berat baik emosional maupun fisik, emosi labil, depresi.
4. Makanan/cairan ; kehilangan berat badan yang mendadak, nafsu makan meningkat, makan banyak, makannya sering, kehausan, mual dan muntah,
pembesaran tyroid, goiter.
5. Rasa nyeri/kenyamanan ; nyeri orbital, fotofobia.
6. Pernafasan ; frekuensi pernafasan meningkat, takipnea, dispnea, edema paru (pada krisis tirotoksikosis).
7. Keamanan ; tidak toleransi terhadap panas, keringat yang berlebihan, alergi terhadap iodium (mungkin digunakan pada pemeriksaan), suhu meningkat di atas 37,40C, diaforesis, kulit halus, hangat dan kemerahan, rambut tipis, mengkilat dan lurus, eksoptamus : retraksi, iritasi pada konjungtiva dan berair, pruritus, lesi eritema (sering terjadi pada pretibial) yang menjadi sangat parah.
8. Seksualitas ; libido menurun, perdarahan sedikit atau tidak sama sekali, impotensi.
Diagnosa :
Resiko tinggi terjadi ketidakefektivan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi trakea, pembengkakan, perdarahan dan spasme laringeal.
Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera pita suara/kerusakan laring, edema jaringan, nyeri, ketidaknyamanan.
Resiko tinggi terhadap cedera/tetani berhubungan dengan proses pembedahan, rangsangan pada sistem saraf pusat.
Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan dengan tindakan bedah terhadap jaringan/otot dan edema pasca operasi.
Intervensi :
Dx 1 : Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera pita suara/kerusakan saraf laring, edema jaringan, nyeri, ketidaknyamanan.
Tujuan yang ingin dicapai sesuai kriteria hasil : Mampu menciptakan metode komunikasi dimana kebutuhan dapat dipahami.
Rencana tindakan/intervensi
1. Kaji fungsi bicara secara periodik.
Rasional :
Suara serak dan sakit tenggorok akibat edema jaringan atau kerusakan karena pembedahan pada saraf laringeal yang berakhir dalam beberapa hari kerusakan saraf menetap dapat terjadi kelumpuhan pita suara atau penekanan pada trakea.
2. Pertahankan komunikasi yang sederhana, beri pertanyaan yang hanya memerlukan jawaban ya atau tidak.
Rasional :
Menurunkan kebutuhan berespon, mengurangi bicara.
3. Memberikan metode komunikasi alternatif yang sesuai, seperti papan tulis, kertas tulis/papan gambar.
Rasional :
Memfasilitasi eksprsi yang dibutuhkan.
4. Pertahankan lingkungan yang tenang.
Rasional :
Meningkatkan kemampuan mendengarkan komunikasi perlahan dan menurunkan kerasnya suara yang harus diucapkan pasien untuk dapat didengarkan.
Dx 2 : Resiko tinggi terhadap cedera/tetani berhubungan dengan proses pembedahan, rangsangan pada sistem saraf pusat.
Tujuan yang ingin dicapai sesuai kriteria hasil : Menunjukkan tidak ada cedera dengan
komplikasi terpenuhi/terkontrol.
Rencana tindakan/intervensi
1. Pantau tanda-tanda vital dan catat adanya peningkatan suhu tubuh, takikardi (140 – 200/menit), disrtrimia, syanosis, sakit waktu bernafas (pembengkakan paru).
Rasional :
Manipulasi kelenjar selama pembedahan dapat mengakibatkan peningkatan pengeluaran hormon yang menyebabkan krisis tyroid.
2. Pertahankan penghalang tempat tidur/diberi bantalan, tmpat tidur pada posisi yang rendah.
Rasional :
Menurunkan kemungkinan adanya trauma jika terjadi kejang.
3. Memantau kadar kalsium dalam serum.
Rasional :
Kalsium kurang dari 7,5/100 ml secara umum membutuhkan terapi pengganti.
4. Kolaborasi dengan tim dokter, dengan memberikan pengobatan sesuai indikasi (kalsium/glukonat, laktat).
Rasional ;
Memperbaiki kekurangan kalsium yang biasanya sementara tetapi mungkin juga menjadi permanen.
Dx 3 : Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan tindakan bedah terhadap jaringan/otot dan paska operasi.
Tujuan yang ingin dicapai sesuai kriteria hasil : Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol.
menunjukkan kemampuan mengadakan relaksasi dan mengalihkan perhatian dengan aktif sesuai situasi.
Rencana tindakan/intervensi :
1. Kaji tanda-tanda adanya nyeri baik verbal maupun non verbal, catat lokasi, intensitas (skala 0 – 10) dan lamanya.
Rasional :
Bermanfaat dalam mengevaluasi nyeri, menentukan pilihan intervensi, menentukan efektivitas terapi.
2. Letakkan pasien dalam posisi semi fowler dan sokong kepala/leher dengan bantal pasir/bantal kecil.
Rasional :
Mencegah hiperekstensi leher dan melindungi integritas gari jahitan.
3. Berikan minuman yang sejuk/makanan yang lunak ditoleransi jika pasien mengalami kesulitan menelan.
Rasional :
Menurunkan nyeri tenggorok tetapi makanan lunak ditoleransi jika pasien mengalami kesulitan menelan.
4. Kolaborasi dengan tim dokter dalam memberikan obat analgetik dan/atau analgetik spres tenggorok sesuai kebutuhannya.
Rasional :
Menurunnya edema jaringan dan menurunkan persepsi terhadap nyeri.

REFERENSI

Pearce, Evelyn C. 2006. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/03/26/askep-struma/. Jum’at, 23 Juli 2010. Pukul 11.30 WIB
http://imrannito.wordpress.com/2007/10/08/struma-pembesaran-kelenjar-gondok/. Jum’at, 23 Juli 2010. Pukul 11.30 WIB

Askep Gastroenteritis

A. Defenisi
Gastroentritis adalah suatu keadaan pengeluaran tinja yang tidak normal/tidak seperti biasanya, ditandai dengan peningkatan volume, keenceran serta frekuensi lebih dari 3 kali sehari dan pada neonatus lebih dari empat kali sehari dengan atau tanpa lender darah. (Hidayat A. A, 2006)

Diare adalah kondisi dimana frekuensi BAB yang abnormal lebih dari 3x sehari serta ditandai perubahan isi lebih dari 200g/hari dan konsistensi feses cair. (Brunner & Suddart, 2002)

B. Etiologi
Diare disebabkan oleh :
1. Faktor infeksi : infeksi yang dapat disebabkan oleh virus, bakteri dan parasit yang pathogen
2. Faktor melabsorbsi : melabsorbsi karbohidrat, melabsorbsi lemak, melabsorbsi protein.
3. Faktor makanan : makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan
4. Faktor psikologis : Rasa takut & cemas (jarang, tapi dapat terjadi pada anak yang lebih besar)

C. Tanda dan Gejala
Mula-mula pasien cemas, gelisah, suhu tubuh meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada, kemudian timbul gejala diare. Tinja cair, gejala mntah mulaimuncul karena lambung turut meradang. Bila pasien telah banyak kehilangan cairan dan elektrolit, gejala dehidrasi mulai timbul, yaitu turgor kulit jelek, BB turun, mukosa tampak kering, dan mata cekung.



D. Anatomi Sistem Pencernaan








E. Patoflow






























F. Pemeriksaan Penunjang dan Diagnostik
a. Pemeriksaan Labolatorium
- Pemeriksaan Feses
- Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam basa dalam darah
- Pemeriksaan kadar ureum dan creatininn untuk mengetahui fungsi ginjal.
b. Pemeriksaan elektrolit instubasi duodenum, untuk mengetahui jasad renik atau parasit, terutama dilakukan pada klien diare kronik.

G. Penatalaksanaan Pengobatan
Dasar pengobatan pasien diare :
1. Pemberian cairan : jenis cairan, cara pemberian cairan, dan jumlah cairan.
2. Dietetik (cara pemberian makan)
3. Obat-obatan, misalnya obat anti sekresi dan obat antibiotik.

H. Diagnosa Keperawatan
DP 1 : Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan BAB cair yang berlebihan.
Tujuan : Turgor kulit membaik
BB kembali normal
Frekuensi BAB normal
Tanda-tanda Vital kembali normal
Jumlah cairan yang masuk dan keluar seimbang
Intervensi :
a. Lakukan rehidrasi pada pasien, tindakan rehidrasi dilakukan berdasarkan tingkat derajat dehidrasi.
b. Observasi terhadap jumlah cairan yang masuk dan keluar
c. Kaji turgor kulit
d. Timbang BB tiap hari
e. Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian pengobatan
Rasionalisasi :
a. Rehidrasi bertujuan untuk mengembalikan cairan yang hilang sehingga adanya keseimbangan pengeluaran dan pemasukan cairan
b. Membantu dalam menegakkan intervensi yang tepat
c. Mengetahui apakan turgor membaik
d. Mengetahui adanya penurunan/peningkatan BB
e. Kombinasi pengobatan dalam mengatasi diare dan mencegah dehidrasi lebih lanjut.
DP 2 : Gangguan pemenuhan nutrisi berhubungan dengan muntah
Tujuan : Perubahan BB selama nutrisi kurang 20% atau lebih
Stasus gizi membaik
Asupan yang cukup
Tanda vital dalam batas normal
Intervensi :
a. Berikan nutrisi (makanan) setelah dehidrasi teratasi yang mengandung cukup kalori, protein, mineral, dan vitamin
b. Pada bayi pertahankan pemberian ASI atau lakukan pemberian penggantian ASI (bagi yang tidak minum ASI)
c. Beri makanan sedikit tapi sering
d. Lakukan monitoring & pengukuran status gizi atau tanda perubahan nutrisi seperti BB, turgor kulit & jumlah asupan
Rasionalisasi :
a. Untuk memperbaiki status gizi
b. Untuk memperbaiki status gizi pasien dan upaya rehidrasi
c. Mengurangi kerja usus, dan menghindari kebosanan makan
d. Membantu dalam menentukan status gizi dan menentukan intervensi yang tepat dalam mengatasi kekurangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.


DP 3 : Gangguan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan frekuensi defekasi
Tujuan : Tidak di temukan kemerahan (lecet), hidrasi baik dan tidak lembab
Intervensi :
a. Pada bayi lakukan penggantian popok dengan sering dan mengkajinya setiap saat setelah BAB & BAK
b. Berikan salep pelumas / bedak pada daerah rektum dan perineum
c. Ajarkan keluarga untuk menjaga kebersihan pada daerah rectum & perineum
Rasionalisasi :
a. Mencegah terjadinya lecet atau iritasi pada kulit
b. Menjaga kekeringan kulit & mengatasi iritasi pada kulit
c. Menambah pengetahuan keluarga sehingga keluarga dapat melakukan secara mandiri untuk mengatasi gangguan integritas kulit